Thursday, 18 July 2019

KARENA PAK TITUT, SAYA MENJADI PENONTON YANG DITONTON OLEH PARA PENONTON

Oleh : Fafa Sandekala


       Adalah Titut Edi Purwanto, seorang yang selain petani, Beliau juga dikenal sebagai seniman Banyumas, khususnya di bidang Cowongan. Pak Titut semakin dikenal luas sejak dirinya duduk bersama Mbah Nun (Cak Nun/ Emha Ainun Najib) di beberapa acara Maiyyahan. Pada forum rutinan Juguran Syafaat (Maiyyah Banyumas Raya), Beliau jadi pegiat inti bersama Pak Agus Sukoco , mas Rizky Dwi Rahmawan dan beberapa pegiat lainnya. Saya sendiri menyebut mereka para "Juragan Juguran". 

        Oh ya, akhir ini keseharian Pak Titut lebih sering di lereng Gunung Slamet, tepatnya di agro wisata alam Karang Penginyongan, Cilongok- Banyumas. Beliau sendiri di dapuk menjadi Manager ditempat itu.

Suatu hari, Pak Titut memanggil saya ke rumahnya yang aneh itu. Bagaimana tidak, diemperan rumahnya terpampang banner besar bertuliskan "awas, disini ada setan", sepaket dengan kaligrafi dan lukisan-lukisan hasil goresan tangannya serta tidak sedikit pajangan cowong (semacam jaelangkung) yang tergantung di tiap sudut rumahnya.

       Sesampai dirumah Pak Titut, saya langsung diajak pergi ke sebuah warung makan langganannya. Usai makan saya di tanya;
" Dik, kamu ngerokok kan?, ini uang buat beli rokokmu. Buat kamu saja ya, saya ndak ngerokok".

Saat itu saya dikasih uang rokok yang menurut saya cukup untuk membeli 3 slop Gudang Garam filter. Setelah kembali dari warung rokok, dihisapan rokok yang ketiga, Pak Titut membuka obrolannya;

"Begini, dik Fafa. Saya itu buta musik dan buta nada. Hanya lagu Garuda Pancasila dan Indonesiaraya yang bisa saya nyanyikan sampai rampung. Tapi saya memiliki beberapa syair lagu berbahasa Penginyongan yang saya karang sendiri. Biar ndak mubah, saya meminta dik Fafa mengaransemen dan mengiringi lagu-lagu saya, kemudian kita rekamkan. Saya ingin membikinkan lagu untuk cucu-cucu saya nanti".

       "Tapi saja bukan musisi, Pak. Alat musik yang saya miliki juga sebatas orjen tua yang sangat terbatas style musiknya. Singkron dengan pemilik orjennya yang skill bermainnya di bilang bodoh saja belum layak. Pak titut kan punya banyak relasi musisi yang lebih pantas". Saat itu, intinya saya menolak halus tawaran Pak Titut.

        Karena sungkan, singkat cerita, kita deal untuk latihan, mengulik tiap lagu karangannya. Dan, ternyata buta nada yang Pak Titut katakan bukan sebatas basa-basi. Bagaimana tidak, lagu Kadal Nunggang Jaran, Lele Dumbo Nyokot Tempe, Nonton Balapan Tengu, Karang Penginyongan, dan kurang lebih sepluh lagu lainnya, memiliki struktur nada dan intonasi yang hampir, bahkan sama. Hanya liriknya saja yang berbeda. Haduuwh.... Saya manut saja, toh lagu buat lucu-lucuan inih. Walaupun saya akui, lagu yang lucu itu memiliki makna filosofis yang sama sekali tidak lucu. Kritik sosial, politik, dan budayanya begitu absurd tapi tepat sasaran.
      
      Ditengah latihan, kejengkelan saya sering muncul saat Pak Titut rewel dengan aturan yang kita berdua sepakati. Intro belum selesai malah ditabrak, giliran sudah mulai nyanyi, Pak Titut malah asik joged sendiri, lupa lirik, banyak lagi, teramat banyak untuk disebutkan, hehehee.
Itu semua yang membuat kita gagal rekaman di sebuah studio rekaman, di daerah Cilacap. Akhirnya, pak Titut lebih memilih mampir ke rumah saya. Tentu saja saya disanguni lagi. Walaupun orang tua, terutama Ibu saya takut kedatangan manusia seram yang gondrong, tinggi dan brewokan. Ditemani oleh mas Rayung Purbantoro dan mas Setyo Nurdiono Madardjo yang juga berrambut gondrong.

"Fa, Ibu tidak melarang kamu berteman dengan siapa saja, tapi mbok jangan yang semacam itu". Begitu ucap Ibu sambil mengintip tiga pria gondrong dari dalam rumah.

       Tapi ketakutan orang tua saya perlahan luntur setelah ngobrol hangat dengan mereka yang berbahasa halus, persis seperti santri yang baru dua hari pulang dari pesantren. Apalagi setelah orang tua tau bahwa Pak Titut sering bareng Mbah Nun, salah satu dari tiga tokoh pribumi Jombang, yang gambarnya terpajang besar di dinding kamar saya.

       Akhirnya, saya berinisiatif merekam live lagu-lagu Pak Titut hanya dengan handphone, orjen dan mic murahan yang saya bawa ke rumahnya. Kapan nyanyi, kapan berhenti, semau-maumu, Pak. Saya tinggal mengiringi. Hasil rekaman rusak-rusakan itu kemudian di pindah ke flasdisk dan dicolokkan ke mobil tua milik Pak Titut. Kemanapun Beliau pergi, hanya boleh memutar lagu miliknya. Tentu saja dengan muka yang sumringah dan bangga atas lagu-lagunya. Persetan dengan telinga orang lain.
Oktober 2016 kali pertama konggres Basa Penginyongan dilangsungkan. Itu lho, bahasa yang sering dianggap lucu, kasar, aneh, medhok dan banyak orang menyebut dengan istilah "bahasa ngapak". Itu bahasa Ibu, tanah kandung, yang sangat kami banggakan. Jika masih saja bahasa kami maning-maning di hina, sampluk ndase sisan!. 
          Konggres tersebut Berlangaung di Banyumas, yang ndilalah saya direkomendasikan jadi salah satu peserta oleh Pak Titut. Argo wisata Karang Penginyongan jadi salah satu lokasi acara konggres itu. Pak Titut sebagai dedengkot lokasi tersebut, ingin memberi buah tangan kepada para peserta dari 5 Kabupaten. Paket buah tangan itu, salahsatunya adalah kaset vcd yang didalamnya full lagu-lagu Pak Titut yang kita berdua rekamkan dengan hp. Saya sedikit bangga dan lebih banyak mengerutkan dahi.
 

        Event pertunjukan semacam konser, umumnya yang nonton lebih banyak dari yang ditonton. Sekalipun yang di tonton cuma satu orang, yang nonton berjumlah ribuan, itu wajar.
Mbakyu Raisa nyanyi sambil main piano atau Om Iksan Skuter nyanyi dengan memetik gitar sekaligus menghirup dan meniup harmonikanya seorang diri, di panggung yang lebarnya 44 meter sekalipun, tetap saja asyik, berpadu dengan meriahnya penonton yang kompak membersamai lagu yang dinyanyikan.

         Suatu ketika, berlangsung acara Sinau Bareng Cak Nun dan Kiai Kanjeng di Purbalingga. Saya yang duduk diatas rumput beserta ribuan jamaah lainnya, melihat Pak Titut hadir ditengah panggung bersama Mbah Nun dan orang penting lainnya, sebagai bumbu acara. Kini, satu diantara orang penting itu sudah bukan orang penting lagi, sebab kena OTT terbukti menjadi maling, atau bahasa halusnya adalah koruptor.
   
        Guna menghangatkan acara, Pak Titut tampil membawakan lagu kebanggaannya, diiringi oleh rombongan musik Kiai Kanjeng. Sumpah, sebuah improvisasi musik apik, yang membuat saya mengikuti irama lagu yang Pak Titut nyanyikan. Saya hafal semua lagu yang pak Titut nyanyikan hingga tanpa sadar, beberapa jamaah disebelah saya fokus melihat saya. Ya, mereka nonton saya yang sedang nonton Pak Titut nyanyi. Mungkin mereka mbatin "kok cuma mas ini yang hafal menirukan lagu aneh itu ya?".


      Saya kira, saya adalah satu-satunya orang di dunia yang nonton pertunjukan musik bersama ribuan penonton lainnya, tetapi hanya saya yang hafal menirukan lagunya. Jadi, rasa malu ditonton oleh para penonton yang mereka seharusnya nonton yang layak ditonton, malah mereka nonton sesama penonton semacam saya, kalah dengan rasa bangga saya, karena saya adalah satu-satunya penonton yang hafal dan paling menikmati lagu diantara ribuan penonton lainnya.

       Hal serupa kembali terulang beberapa bulan kemudian, saat CNKK (Cak Nun dan Kiai Kanjeng) hadir di Alun-Alun Purwokerto. Ada yang tidak tau lokasinya?. Itu lho, rerumputan yang seperti sebuah taman kecil di depan mall super besar milik bupati abadi Banyumas. Eh...

         Walaupun beberapa teman ada yang menganggap Pak Titut kurang sopan dihadapan Mbah Nun, saya kira tokoh sekaliber Mbah Nun tidak akan berkurang secuilpun kehormatannya, atas niatan baik dan kejujuran sikap pak Titut di panggung. Yang saya tau, mbah Nun sangat mencintai Pak Titut, yang Mbah Nun sendiri memanggilnya dengan sebutan dik Titut, sebagaimana pak Titut memanggil saya juga dengan dengan panggilan dik.
Satu pesan dari pak Titut yang masih saya amalkan, "Berilah salam kepada Matahari, Gunung, sungai tetumbuhan dan seluruh isi Alam raya. Muga- muga dik Fafa diparingi nasib lan takdir sing apik. Di slamet- slamet ya, dik....".
Jemuah Pon, 2019.