Showing posts with label Politik. Show all posts
Showing posts with label Politik. Show all posts

Thursday 18 July 2019

KARENA PAK TITUT, SAYA MENJADI PENONTON YANG DITONTON OLEH PARA PENONTON

Oleh : Fafa Sandekala


       Adalah Titut Edi Purwanto, seorang yang selain petani, Beliau juga dikenal sebagai seniman Banyumas, khususnya di bidang Cowongan. Pak Titut semakin dikenal luas sejak dirinya duduk bersama Mbah Nun (Cak Nun/ Emha Ainun Najib) di beberapa acara Maiyyahan. Pada forum rutinan Juguran Syafaat (Maiyyah Banyumas Raya), Beliau jadi pegiat inti bersama Pak Agus Sukoco , mas Rizky Dwi Rahmawan dan beberapa pegiat lainnya. Saya sendiri menyebut mereka para "Juragan Juguran". 

        Oh ya, akhir ini keseharian Pak Titut lebih sering di lereng Gunung Slamet, tepatnya di agro wisata alam Karang Penginyongan, Cilongok- Banyumas. Beliau sendiri di dapuk menjadi Manager ditempat itu.

Suatu hari, Pak Titut memanggil saya ke rumahnya yang aneh itu. Bagaimana tidak, diemperan rumahnya terpampang banner besar bertuliskan "awas, disini ada setan", sepaket dengan kaligrafi dan lukisan-lukisan hasil goresan tangannya serta tidak sedikit pajangan cowong (semacam jaelangkung) yang tergantung di tiap sudut rumahnya.

       Sesampai dirumah Pak Titut, saya langsung diajak pergi ke sebuah warung makan langganannya. Usai makan saya di tanya;
" Dik, kamu ngerokok kan?, ini uang buat beli rokokmu. Buat kamu saja ya, saya ndak ngerokok".

Saat itu saya dikasih uang rokok yang menurut saya cukup untuk membeli 3 slop Gudang Garam filter. Setelah kembali dari warung rokok, dihisapan rokok yang ketiga, Pak Titut membuka obrolannya;

"Begini, dik Fafa. Saya itu buta musik dan buta nada. Hanya lagu Garuda Pancasila dan Indonesiaraya yang bisa saya nyanyikan sampai rampung. Tapi saya memiliki beberapa syair lagu berbahasa Penginyongan yang saya karang sendiri. Biar ndak mubah, saya meminta dik Fafa mengaransemen dan mengiringi lagu-lagu saya, kemudian kita rekamkan. Saya ingin membikinkan lagu untuk cucu-cucu saya nanti".

       "Tapi saja bukan musisi, Pak. Alat musik yang saya miliki juga sebatas orjen tua yang sangat terbatas style musiknya. Singkron dengan pemilik orjennya yang skill bermainnya di bilang bodoh saja belum layak. Pak titut kan punya banyak relasi musisi yang lebih pantas". Saat itu, intinya saya menolak halus tawaran Pak Titut.

        Karena sungkan, singkat cerita, kita deal untuk latihan, mengulik tiap lagu karangannya. Dan, ternyata buta nada yang Pak Titut katakan bukan sebatas basa-basi. Bagaimana tidak, lagu Kadal Nunggang Jaran, Lele Dumbo Nyokot Tempe, Nonton Balapan Tengu, Karang Penginyongan, dan kurang lebih sepluh lagu lainnya, memiliki struktur nada dan intonasi yang hampir, bahkan sama. Hanya liriknya saja yang berbeda. Haduuwh.... Saya manut saja, toh lagu buat lucu-lucuan inih. Walaupun saya akui, lagu yang lucu itu memiliki makna filosofis yang sama sekali tidak lucu. Kritik sosial, politik, dan budayanya begitu absurd tapi tepat sasaran.
      
      Ditengah latihan, kejengkelan saya sering muncul saat Pak Titut rewel dengan aturan yang kita berdua sepakati. Intro belum selesai malah ditabrak, giliran sudah mulai nyanyi, Pak Titut malah asik joged sendiri, lupa lirik, banyak lagi, teramat banyak untuk disebutkan, hehehee.
Itu semua yang membuat kita gagal rekaman di sebuah studio rekaman, di daerah Cilacap. Akhirnya, pak Titut lebih memilih mampir ke rumah saya. Tentu saja saya disanguni lagi. Walaupun orang tua, terutama Ibu saya takut kedatangan manusia seram yang gondrong, tinggi dan brewokan. Ditemani oleh mas Rayung Purbantoro dan mas Setyo Nurdiono Madardjo yang juga berrambut gondrong.

"Fa, Ibu tidak melarang kamu berteman dengan siapa saja, tapi mbok jangan yang semacam itu". Begitu ucap Ibu sambil mengintip tiga pria gondrong dari dalam rumah.

       Tapi ketakutan orang tua saya perlahan luntur setelah ngobrol hangat dengan mereka yang berbahasa halus, persis seperti santri yang baru dua hari pulang dari pesantren. Apalagi setelah orang tua tau bahwa Pak Titut sering bareng Mbah Nun, salah satu dari tiga tokoh pribumi Jombang, yang gambarnya terpajang besar di dinding kamar saya.

       Akhirnya, saya berinisiatif merekam live lagu-lagu Pak Titut hanya dengan handphone, orjen dan mic murahan yang saya bawa ke rumahnya. Kapan nyanyi, kapan berhenti, semau-maumu, Pak. Saya tinggal mengiringi. Hasil rekaman rusak-rusakan itu kemudian di pindah ke flasdisk dan dicolokkan ke mobil tua milik Pak Titut. Kemanapun Beliau pergi, hanya boleh memutar lagu miliknya. Tentu saja dengan muka yang sumringah dan bangga atas lagu-lagunya. Persetan dengan telinga orang lain.
Oktober 2016 kali pertama konggres Basa Penginyongan dilangsungkan. Itu lho, bahasa yang sering dianggap lucu, kasar, aneh, medhok dan banyak orang menyebut dengan istilah "bahasa ngapak". Itu bahasa Ibu, tanah kandung, yang sangat kami banggakan. Jika masih saja bahasa kami maning-maning di hina, sampluk ndase sisan!. 
          Konggres tersebut Berlangaung di Banyumas, yang ndilalah saya direkomendasikan jadi salah satu peserta oleh Pak Titut. Argo wisata Karang Penginyongan jadi salah satu lokasi acara konggres itu. Pak Titut sebagai dedengkot lokasi tersebut, ingin memberi buah tangan kepada para peserta dari 5 Kabupaten. Paket buah tangan itu, salahsatunya adalah kaset vcd yang didalamnya full lagu-lagu Pak Titut yang kita berdua rekamkan dengan hp. Saya sedikit bangga dan lebih banyak mengerutkan dahi.
 

        Event pertunjukan semacam konser, umumnya yang nonton lebih banyak dari yang ditonton. Sekalipun yang di tonton cuma satu orang, yang nonton berjumlah ribuan, itu wajar.
Mbakyu Raisa nyanyi sambil main piano atau Om Iksan Skuter nyanyi dengan memetik gitar sekaligus menghirup dan meniup harmonikanya seorang diri, di panggung yang lebarnya 44 meter sekalipun, tetap saja asyik, berpadu dengan meriahnya penonton yang kompak membersamai lagu yang dinyanyikan.

         Suatu ketika, berlangsung acara Sinau Bareng Cak Nun dan Kiai Kanjeng di Purbalingga. Saya yang duduk diatas rumput beserta ribuan jamaah lainnya, melihat Pak Titut hadir ditengah panggung bersama Mbah Nun dan orang penting lainnya, sebagai bumbu acara. Kini, satu diantara orang penting itu sudah bukan orang penting lagi, sebab kena OTT terbukti menjadi maling, atau bahasa halusnya adalah koruptor.
   
        Guna menghangatkan acara, Pak Titut tampil membawakan lagu kebanggaannya, diiringi oleh rombongan musik Kiai Kanjeng. Sumpah, sebuah improvisasi musik apik, yang membuat saya mengikuti irama lagu yang Pak Titut nyanyikan. Saya hafal semua lagu yang pak Titut nyanyikan hingga tanpa sadar, beberapa jamaah disebelah saya fokus melihat saya. Ya, mereka nonton saya yang sedang nonton Pak Titut nyanyi. Mungkin mereka mbatin "kok cuma mas ini yang hafal menirukan lagu aneh itu ya?".


      Saya kira, saya adalah satu-satunya orang di dunia yang nonton pertunjukan musik bersama ribuan penonton lainnya, tetapi hanya saya yang hafal menirukan lagunya. Jadi, rasa malu ditonton oleh para penonton yang mereka seharusnya nonton yang layak ditonton, malah mereka nonton sesama penonton semacam saya, kalah dengan rasa bangga saya, karena saya adalah satu-satunya penonton yang hafal dan paling menikmati lagu diantara ribuan penonton lainnya.

       Hal serupa kembali terulang beberapa bulan kemudian, saat CNKK (Cak Nun dan Kiai Kanjeng) hadir di Alun-Alun Purwokerto. Ada yang tidak tau lokasinya?. Itu lho, rerumputan yang seperti sebuah taman kecil di depan mall super besar milik bupati abadi Banyumas. Eh...

         Walaupun beberapa teman ada yang menganggap Pak Titut kurang sopan dihadapan Mbah Nun, saya kira tokoh sekaliber Mbah Nun tidak akan berkurang secuilpun kehormatannya, atas niatan baik dan kejujuran sikap pak Titut di panggung. Yang saya tau, mbah Nun sangat mencintai Pak Titut, yang Mbah Nun sendiri memanggilnya dengan sebutan dik Titut, sebagaimana pak Titut memanggil saya juga dengan dengan panggilan dik.
Satu pesan dari pak Titut yang masih saya amalkan, "Berilah salam kepada Matahari, Gunung, sungai tetumbuhan dan seluruh isi Alam raya. Muga- muga dik Fafa diparingi nasib lan takdir sing apik. Di slamet- slamet ya, dik....".
Jemuah Pon, 2019.

Wednesday 9 November 2016

Selamat Hari Pahlawan Nasional 10 November 2016






HARI PAHLAWAN 10 NOVEMBER 2016






Bung di negri tercinta mu ini sedang ada gejolak politik yang sangat hebat , 

bahkan bisa memicu perpecahan yang lebih dalam lagi.

Bisakan sejenak mereka diluar sana sedikit mengerti 

betapa susah nya memerdekakan negri ini .

Dengan darah pahlawan 

dengan semangat takbir 

 dengan persatuan lintas agama yang begitu kuat .


Bung apa ada lagi di negri ini yang bisa menjadi singa podium 

yg membakar semangat sampai menusuk ke kulit ari dan meresap ke hati ??? 

Bung apakah akan ada lagi sosok pemimpin 

yang bisa menyatukan nusantara ini tanpa darah dan air mata ???

Bung apakah ada lagi sosok sepertimu

 dan para pahlawan terdahulu 

yang rela mati dan tulus membangun negri ini

 tanpa ada unsur ego dan ingin berkuasa ???






Selamat Hari Pahlawan
#haripahlawan #10november

Thursday 7 April 2016

Agama, Politik, dan Politik Agama

Agama, Politik, dan Politik Agama
(Sumanto Al Qurtuby)




        Khusus Relasi antara agama dan politik itu sangat dinamis, unik, menarik, sekaligus lucu. Keduanya kadang saling berseteru. Tapi pada saat yang bersamaan, mereka bisa berdampingan dengan mesra.

Sejarah mencatat, tokoh, komunitas, dan institusi keagamaan bisa berperan menjadi penjaga moral masyarakat serta pengkritik kekuasaan yang garang. Pula, agama bisa menjadi sumber energi luar biasa untuk melakukan perlawanan terhadap rezim korup dan despotik. Sejarah gerakan Gereja Katolik di Amerika Latin, Black Chruches di Amerika Serikat, Sufi Sanusiyah di Lybia, atau Tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah di Banten, Indonesia, hanyalah sekelumit contoh sejarah dimana agama telah melakukan fungsi kritisnya sebagai mediumkritik sosial sebuah masyarakat sekaligus sarana perubahan politik sebuah tatanan kekuasaan.

Penting untuk dicatat, bukan hanya agama yang melakukan perlawanan terhadap politik. Politik juga sering melawan, mengintimidasi, dan menghancurkan agama. Dengan kata lain, hubungan sekaligus nasib agama dan politik akan ditentukan oleh otoritas mana yang paling kuat dan dominan dari keduanya serta bagaimana watak dan karakter para elit politik dan elit agama yang kebetulan berkuasa. Jika politik menjadi “superordinat”, maka agama akan berpotensi menjadi “subordinat”. Begitu pula sebaliknya.Tetapi di sisi lain, agama juga bisa berfungsisebagai “stempel” atau legitimator politik-kekuasaan sejak zaman bahula hingga dewasa ini. Di sejumlah negara saat ini, agama-politik banyak melakukan “perkawinan” dan menjalin hubungan “simbiosis mutualisme”: politik memberi jaminan proteksi keamanan masyarakat agama, sementara agama memberi “legitimasi teologis” untuk melanggengkan kekuasaan politik.

Dalam konteks ini, secara teori, maka hubungan agama dan politik adalah sejajar (koordinat), bukan saling mendominasi dan menguasai tetapi saling melengkapi dan menguntungkan satu sama lain. Meskipun dalam prakteknya tentu saja tetap terjadi “perselingkuhan” sana-sini dimana agama atau politik mencoba “main mata” dan “berselingkuh” dengan pihak lain diluar “komunitas agama” (misalnya kelompok adat, kaum pebisnis, sekuler-ateis, dlsb) atau bahkan secara diam-diam saling menjegal dan mendelegitimasi otoritas masing-masing.

Diktum-diktum keagamaan (ajaran, diskursus, teks, norma dlsb) memang sangat lentur dan fleksibel sehingga mudah untuk diseret-seret kesana-kemari sesuai dengan kepentingan pemeluknya.

Dalam konteks sejarah Indonesia, terjadi perkembangan dinamis menyangkut relasi agama dan politik ini. Dulu pada masa kolonial, agama berperan ganda: sebagai legitimasi kolonialisme sekaligus kritik sosial. Banyak tokoh agama, Muslim khususnya, yang bekerja dengan pemerintah kolonial. Tetapi pada saat yang bersamaan juga banyak di antara mereka yang menjadi pengkritik dan pemberontak kolonial.

Pada zaman Orde Lama, Presiden Sukarno satu sisi mengakomodasi tokoh-tokoh Muslim (khususnya dari Nahdlatul Ulama) tetapi pada waktu yang bersamaan melibas tokoh-tokoh Muslim lain (khususnya dari Masyumi) yang kontra dengan kekuasaanya.

Pada masa Orde Baru, Presiden Suharto tidak melirik kelompok Islam meskipun padaawalnya mereka digandeng untuk mengantarkan jalan kekuasaan. Pak Harto lebih tertarik menggandeng kelompok abangan-kejawen dan kalangan militer. Baru pada awal 1990-an, ia tertarik “melirik” Islam dengan menggaet kelompok kelas menengah teknokrat di bawah bendera ICMI(Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) setelah terjadi friksi dengan sejumlah petinggi militer. Pak Harto dulu juga tidak memberi ruang gerak secuilpun untuk perkembangan “Islam politik” meskipun mendukung gerakan “Islam kultural” yang apolitis.

Setelah Pak Harto tumbang pada 1998, krankebebasan berekspresi dan berserikat yang dulu ditutup rapat, kini pun dibuka kembali lebar-lebar. Akibatnya, Indonesia seperti kebanjiran kelompok-kelompok Islam ekstrim-konservatif. Mereka yang dulu bersembunyi karena ketakutan dengan politik otoriter-militer Pak Harto, kini bermunculan bak cendawan di musim hujan.

Meski banyak sisi positif-konstruktif di era post-Suharto ini seperti tumbuh-berkembangnya demokrasi dan kebebasan sipil tetapi ada sejumlah sisi negatif-destruktif. Merebaknya para “penumpang gelap” demokrasi seperti kelompok-kelompok Islam garis keras (Muslim hardliners) yang intoleran, anti-pluralisme, kontra-kebangsaan, mau menangnya sendiri, serta menggunakan berbagai tindakan dan cara kekerasan untuk memuluskan agenda dan kepentingan kelompoknya hanyalah sekelumit contoh dari sisi negatif-destruktif tadi.

Kelompok-kelompok ini tidak segan-segan untuk memobilisir massa (dan bahkan Tuhan) dengan menggunakan sentimen-sentimen primordial agama dan etnisitas demi mencapai kepentingan politik-ekonomipragmatis. Inilah yang saya maksud dengan “politik agama”, yakni “pemerkosaan agama” oleh sejumlah kelompok agama demi kepentingan politik praktis sektarian. 

Pengerahan massa oleh sejumlah “sindikat Islam” untuk menjegal Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dari bursa kandidat Gubernur Jakarta dengan alasan bahwa ia seorang “Kristen” yang tidak layakmemimpin Jakarta yang mayoritas Muslim adalah contoh kecil dari “politik agama” ini.Jika fenomena “politik agama” sektarian ini tidak “dikelola” dengan baik, arif, dan bijak maka potensi kekerasan komunal-horisontal bisa terjadi, dan spirit demokrasi yang sudah diperjuangkan dengan susah-payah oleh kekuatan rakyat tahun 1998 bisa terkubur di kemudian hari.


Sumber: Deutsche Welle, 23 Maret 2016

Rezim "Islam Ibadi" di Timur Tengah

Oman: Rezim "Islam Ibadi" di Timur Tengah
Sumanto Al Qurtuby



              Bagi banyak orang, mungkin mengira Arab dan Timur Tengah adalah melulu kawasan Sunni dan Syiah. Pandangan ini keliru. Ada banyak aliran dan kelompok agama dan mazhab Islam di kawasan ini. Salah satunya adalah Oman. Negara di tenggara Jazirah Arab yang berbatasan dengan Saudi, Uni Emirat Arab, dan Yaman ini adalah pengikut "Islam Ibadi" atau Ibadiyah, sebuah faksi Islam yang lahir hanya selang 20 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW.

Dengan demikian, sekte Ibadiyah lebih tua dari Syiah apalagi Sunni. Selain Oman, Zanzibar juga mayoritas pengikut Ibadiyah. Selain di kedua negara ini, pengikut Ibadiyah juga tersebar di Aljazair, Tunisia, Libia, dan Afrika Timur. Meskipun ada yang menanggap Ibadi adalah pecahan Khawarij, para sarjana Ibadi sendiri menolak dikaitkan dengan "faksi radikal" Islam ini. Ada cukup banyak tokoh Ibadi yang populer seperti Ahmad bin Hamad al-Halili, Moufdi Zakaria, Sulaiman al-Barouni, Nouri Abusahmain, dlsb.

Penguasa Oman, Sultan Qaboos Bin Said Al Said yang menjadi penguasa sejak 1970 dan menjadi pemimpin pemerintahan terlama di Timur Tengah, juga pengikut setiasekte Ibadiyah. Menarik untuk dicatat, Oman memiliki record yang cukup menggembirakan khususnya dalam halperdamaian dan pemeliharaan hubungan harmonis dan toleran Muslim-non-Muslim.

Meskipun Ibadi menjadi "mazhab resmi" negara, ada banyak kelompok keislaman dan keagamaan di Oman termasuk non-Muslim seperti Kristen, Zoroaster, Jain, Buddha, Baha'i, Sikh, Hindu dlsb sebagai dampak dari arus migrasi internasional. Lebih dari 40% penduduk Oman adalah kaum migran, khususnya dari Asia Selatan. Tempat-tempat ibadah diluar masjid juga bertebaran disini. Karena itu tidak mengherankan jika Global Peace Index menempatkan Oman sebagai salah satu negara yang cukup damai, adem-ayem, toleran, dan ramah dengan aneka ragam agama.

Hal lain yang menarik dari Oman adalah negara ini menjaga dengan baik aneka situs-situs sejarah dan warisan kebudayaan masa lalu, bukan malam merusak dan menghancurkannya dengan alasan "tidak Islami". Oman juga merawat dengan baik objek-objek turisme sehingga memikat banyak wisatawan.

Dulu Pejuang Nasionalisme, Kini Anti Nasionalisme (Oleh : Prof. Sumanto Al Qurtuby)

Alumni Arabia:

Dulu Pejuang Nasionalisme, Kini Anti-Nasionalisme

by Islamnus 07 Maret 2016,
JAKARTA,ISLAMNUSANTARA.COM




- Jika kita perhatikanada perbedaan yang sangat mendasar antara para ulama alumni Arabia atau santri yang belajar di "Tanah Arab" dulu dan sekarang dalam hal sikap mereka terhadap gagasan nasionalisme. Sejarah mencatat, dulu kaum cerdik-pandai dan para ulama hebat Nusantara (dan santri) di Tanah Arab, khususnya Arabia (Makkah) tetapi juga Mesir (Al-Azhar), seperti Syeikh Yusuf Makasar, Abdus Samad al-Falimbani, Ahmad Khatib Minangkabau, Notonegoro (Muchtar bin Attarid) serta para ulama pendiri Nahdlatul Ulama (NU) dan masih banyak lagi, begitu gigih dan heroik memperjuangkan Tanah Air mereka dari penjajahan Belanda. Beberapa di antaranya bahkan tidak hanya berdiskusi tetapi langsung memimpin protes dan gerakan anti-kolonialisme. Mereka juga gigih memperjuangkan Tanah Air-nya menjadi negara yang merdeka, independen, dan berdaulat. (Baca juga: Ditangan Orang Alim Islam Itu Damai, Ditangan Orang Jahil Islam Itu Sulit)

Pada waktu itu para intelektual, ulama, dan santri Nusantara di Makkah juga mendirikan Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia di kota suci umat Islam ini. Madrasah di Makah seperti Shaulatiyah (didirikan oleh Syeikh Muhammad Rahmatullah al-Hindi) dan Darul Ulum (didirikan oleh ulama Nusantara: Sayyid Muhsin bin Ali Al-Musawa dan Syeikh Muhammad Yasin al-Fadani) menjadi tempat perkumpulan dan pergumulan para santri Nusantara. (Baca juga: Grand Syeikh Al Azhar: Agama Diturunkan Bukan Untuk Pecah Belah Umat)

Disinilah mereka dulu dengan leluasa membahas dan berdiskusi tentang masalah-masalahkepolitikan, nasionalisme, dan anti-kolonialisme yang turut memberi kontribusi bagi pendirian Negara-Bangsa Indonesia. Bukan hanya ulama dan santri, para jamaah haji juga banyak terlibat dalam pergumulan nasionalisme dan perwujudan kemerdekaan Indonesia. Saat itu, Makkah menjelma menjadi semacam "melting pot" berbagai suku-bangsa di Nusantara, menjadi area yang nyaman-aman untuk membicarakan isu-isu penting ini sesuatu yang dilarang oleh Belanda di "Nusantara".

Lain dulu lain sekarang. Kini, saya menyaksikan para santridan alumni Arab Saudi (meski tidak semuanya) bukannya gigih membela Tanah Air Indonesia dan mempertahankan spirit nasionalisme yang telah ditanamkan dan diperjuangkan dengan susah payah oleh para ulama"pendahulu" mereka, malah justru sebaliknya: heroik propaganda anti-nasionalisme dan kebangsaan serta anti-dasar negara dengan dalih tidak Islami lah, kafir lah. Makhluk macam apa mereka ini? (ISNU)

Sumber: Akun Facebook Prof Sumanto Al-Qurtuby

Friday 1 April 2016

Seputar Ideologi, Teologis dan Filosofis PMII

Seputar ideologi PMII



Pada paruh kedua abad kemarin dan gaungnya hingga hari ini (digarahi oleh kelompok intelektual 'kiri' Eropa yang mendasari new-left movement yang terkenal itu, sebut saja; kelompok madhab frankfurt, TW Adorno, Jurgen Habermas bahwa perdebatan mengenai ideologi masih mempunyai ruang, terlebih ideologi menuai kritik dan evaluasi terhadapnya. Kritik itu seputar perannya sebagai 'wadah' atau 'tempat'  kebenaraan atau bahkan sebagai 'sumber' kebenaran itu sendiri, yang disatu sisi dinilai sebagai pencerah ummat tetapi disisi lain sebagai alat hegemoni ummat.
Ideologi memang dianggaab sebaagaai laandasan kebenaaran yang paling fundaamental (mendasar) makanya tidak terlalu salah bila ddisebut sumber kebenaran sebagai ruh dari operasi praksis kehidupan. Tetapi dalam prosesnya kemudiaan ideologi ada tidak bebas dari kepentingan --prinsip peng-ada-an; sesuatu materi diciptakan/diadakan pasti punya maksud dan tujuan--, ironisnya kepentingan yang pada awalnya untuk kebaikan sesama tanpa ada pengistemewaan/pengklasifikasian kemudian berubah menjadi milik segolongan tertentu. Hasilnya ideologi menjadi tameng kebenaraan ummat tertentu, digunakan untuk tujuan-tujuan yang tidak selayaknya, tujuaan 'hanya kekuasaan' misalnya. Maka dalam konteks ini ideologi mendapat serangan habis-habisan.
Tanpa bermaksud memutus perdebatan sosiologi pengetahuan seperti diatas, Ideologi akan tetap memiliki ummat, ideologi masih memiliki pengikut tatkala ia masih rasional masih kontekstual tidak pilih kasih (diskriminatif) tidak menindas sehingga layak dijadikan sumber kebenaran, ketika peran itu masih melekat niscaya ideologi masih diperlukan.
Dibawa dalam ranah PMII, ideologi PMII digali dari sumbernya --yang pada pembicaraan sebelumnya disebut sebagai identitas PMII-- yaitu keislaman dan keindonesiaan. Sublimasi atau perpaduan antara dua unsur diatas menjadi rumusan materi yang terkandung dalam Nilai Dasar Pergerakan PMII, ya semacam qonun azasi di PMII atau itu tadi yang disebut... Ideologi. NDP berisi rumusan ketauhidan, pengyakinan kita terhadap Tuhan. Bentuk pengyakinan itu terletak dari pola relasi/hubungan antar komponen di alam ini, pola hubungan antara mikrokosmos dan makrokosmos, antara Tuhan dan manusia, antar manusia dan antara manusia dengan sekelilingnya.

Jadi kesimpulaan yang bisa diambil adalah:
(1)  Ideologi masih relevan dijadikan sebagai rujukan kebenaran
(2)  Ideologi PMII terangkum (terwujud) dalam rumusan Nilai Dasar Pergerakan (NDP) yang merupakan sublimasi keislaman dan keindonesiaan

ø Landasan Teologis dan Filosofis PMII

Landasan filosofis dan teosofis PMII sebenarnya tergali dalam rumusan NDP dan turunannya kebawah. Artinya bahwa NDP dibangun atas dasar dua sublimasi besar yaitu ke-Islaman dan ke-Indonesiaan.
Sublimasi ke-Islaman berpijak dari kerangka paradikmatik bahwa Islam memiliki kerangka besar yang universal, transendental, trans-historis dan bahkan trans-personal. Universalisme atau variasi-variasi identitas Islam lainnya yang dimaksud bermuara pada satu gagasan besar, bagaimana membangun masyarakat yang berkeadilan.
Namun, harus disadari bahwa sungguhpun Islam memiliki universalitas atau yang lainnya, ia juga menampakkan diri sebagai entitas dengan identitas sangat kultural, antropologis, historis, sosiologis dan bahkan politis.
Dua gambaran tentang Islam yang paradoks ----atau minimal kontra produktif dan bahkan saling berbinary opposition--- menghadapkan believer pada tingkat minimal untuk melakukan human exercise bagaimana Islam dalam identitas yang ganda itu mampu disandingkan, dan bahkan dileburkan menjadi satu identitas besar, rahmatan lil alamin.
Dari sini, mengharuskan PMII untuk mengambil inisiatif dengan menempatkan Islam sebagai salah satu sublimasi identitas kelembagaan. Ini berarti, PMII  menempatkan Islam sebagai landasan teologis untuk dengan tetap meyakini universalitas, transhistoris dan bahkan transpersonalnya. Lebih dari itu, Keyakinan teologis tersebut tidak semata-mata ditempatkan sebagai landasan normatifnya, melainkan disertai upaya bagaimana Islam teologis itu mampu menunjukkan dirinya dalam dunia riel. Ini berarti, PMII akan selalu menempatkan Islam sebagai landasan normatif yang akan selalu hadir dalam setiap gerakan-gerakan sosial dan keagaamaan yang dimilikinya.
Selain itu, PMII sebagai konstruksi besar juga begitu menyadari bahwa ia tidaklah hadir dalam ruang hampa, kosong, berada diawang-awang dan jauh dari latar  sosial dan bahkan politik. Tetapi, ia justru hadir dan berdiam diri dalam satu ruang identitas besar, Indonesia dengan berbagai kemajemukan watak kulturalnya, sosiologis dan hingga antropologisnya.
Oleh karena, identitas diri yang tak terpisahkan dengan identitas besar Indonesia mengharuskan PMII untuk selalu menempatkan identitas besar itu menjadi salah satu sublimasi selain ke-Islaman.
Penempataan itu berarti menempatkan PMII sebagai institusi besar yang harus selalu melakukan pembacaan terhadap lingkungan besarnya, "Indonesia". Hal ini dalam rangka membangun aksi-aksi sosial, kemasyarakatan, dan kebangsaan yang selalu relevant, realistik, dan transformatik.
Dua penjelasan kaitannya dengan landasan sublimatif PMII diatas, dapat ditarik kedalam satu konstruksi besar bahwa PMII dalam setiap bangunan gerakan dan institusionalnya tetap menghadirkan identitas teologisnya, identitas Islam. Tetapi, lebih dari itu, landasan teologis Islam justru dihadirkan bukan hanya sebatas dalam bentuk pengaminan secara verbal dan normatif, melainkan bagaimana landasan teologis ini menjadi transformable dalam setiap gerakan dan aksi-aksi institusionalnya. Dengan begitu, mau tidak mau PMII harus mempertimbangkan tempat dimana ia lahir, berkembang, dan melakukan eksistensi diri, tepatnya ruang ke-Indonesiaan. Yang berarti, secara kelembagaan PMII harus selalu mempertimbangkan gambaran utuh konstruksi besar Indonesia dalam membangun setiap aksi-aksi kelembagaanya.
Endingnya, proses yang runut transformasi landasan teologis Islam dan konstruksi besar ke-Indonesia-an sebagai medium pembacaan objektifnya, maka akan muncul citra diri kader atau citra diri institusi yang ulil albab. Citra diri yang tidak hanya semata-mata menampilkan diri secara personal sebagai manusia beriman yang normatif dan verbalis, melainkan juga sebagai believer kreatif dan membumi-kontekstual. Citra diri personal ini secara langsung akan mengujudkan PMII secara kelembagaan sebagai entitas besar yang juga ulil albab.

Kesimpulan:
1.    Landasan teologis PMII adalah Islam-Keindonesiaan.
2.    Identitas filosofis PMII adalah citra diri yang dibangun melalui Islam sebagai teologi transformatif dan Ruang ke-Indonesia-an sebagai media pembacaan objektif.

3.    Tranformasi dua hal, landasan teologis dan identitas filosofis akan berakhir dengan tampilnya  identitas personal dan kelembagaan yang ulil albab.


Oleh : PKC PMII Jawa Timur

Identias dan citra diri PMII

 Identitas dan citra diri PMII

         
 APA itu identitas PMII, seperti empat huruf kata 'PMII', yaitu Suatu wadah atau perkumpulan organisasi kemahasiswaan dengan label 'Pergerakan' yang Islam dan Indonesia yang mempunyai tujuan:
Terbentuknya Pribadi Muslim Indonesia Yang;
(1)  Bertaqwa kepada Allah swt
(2)  Berbudi luhur
(3)  Berilmu
(4)  Cakap, dan
(5)  Bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmu pengetahuannya. (Bab IV AD PMII)
Menuju capaian ideal sebagai mahluk Tuhan, sebagai ummat yang sempurna, yang kamil, yaitu mahluk Ulul Albab.

Kata 'Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia' jika diudar lebih lanjut adalah:
1.    Pergerakan bisa didefinisikan sebagai 'lalu-lintas gerak', gerak dalam pengertian fisika adalah perpindahan suatu titik dari ordinat A ke ordinat B. Jadi 'Pergerakan' melampaui 'gerak' itu sendiri, karena pergerakan berarti dinamis, gerak yang terus-menerus. Ilustrasinya demikian, Misalnya seorang Alexandro Nesta menendang bola, mengarahkannya kepada Zambrotta, itu berarti suatu gerakan bola dari Nesta ke Zambrotta (hanya itu). Bandingkan, Nesta menendang bola ke Zambrotta, lalu mengoperkan bola itu kepada Vieri, dengan trik cantik Vieri menendang bola persis di pojok atas kanan gawang dan …… Itu yang namanya pergerakan bola. Kesimpulannya,  pergerakan meniscayakan dinamisasi, tidak boleh stagnan (berhenti beraktivitas) dan beku, beku dalaam pengertian kaku, tidak kreatif-inovatif. Prasyarat kreatif-inovatif adalah kepekaan dan kekritisan, dan kekritisan butuh kecerdasan.
Kenapa 'Pergerakan' bukan 'Perhimpunan'?, kalau berhimpun terus kapan bergeraknya….. Artinya bahwa, 'pergerakan' bukan hanya menerangkan suatu perkumpulan/organisasi tetapi juga menerangkan sifat dan karakter organisasi itu sendiri.
2.    Mahasiswa adalah sebutan orang-orang yang sedang melakukan studi di perguruan tinggi, dengan predikat sebutan yang melekat, mahasiswa sebagai 'wakil' rakyat, agen perubahan, komunitas penekan terhadap kebijaakan penguasa dll
3.    Islam, Agama Islam yang dijadikan basis landasam sekaligus identitas bahwa PMII adalah organisasi mahasiswa yang berlandaskan agama. Karenanya jelas bahwa rujukan PMII adalah kitab suci agama Islam ditambah dengan rujukan selanjutnya, sunnah nabi dan para sahabat, yang itu terangkum dalam pemahaman jumhur, yaitu ahlussunnah waljama'ah. Jadi Islam ala PMII adalah Islam yang mendasarkan diri pada aswaja --dengan varian didalamnya-- sebagai landasan teologis (keyakinan keberagamaan).
4.    Indonesia. Kenapa founding fathers PMII memasukkan kata 'Indonesia' pada organisasi ini, tidak lain untuk menunjukkan sekaligus mengidealkan PMII sebagai organisasi kebangsaan, organisasi mahasiswa yang berpandangan nasionalis, punya tanggung-jawab kebangsaan, kerakyataan dan kemanusiaan. Juga tidak tepat jika PMII hanya dipahami sebagai organisasi keagamaan semata. Jadi keislaman dan keindonesiaan sebagai landasan PMII adalah seimbang.
(kalo' mencari organisasi mahasiswa yang nasionalis dan agamis maka pilihan itu jatuh pada PMII)

Jadi PMII adalah pergerakan mahasiswa yang Islam dan yang Indonesia,  yang mendasarkan pada agama Islam dan sejarah, cita-cita kemerdekan dan laju perjalanan bangsa ini kedepan.
Islam-Indonesia (dua kata digabung)  juga bisa dimaknai Islam yang bertransformasi ke ranah Nusantara/Indonesia, Islam Indonesia adalah Islam lokal --bukan Islam Arab secara persis--, tapi nilai universalitas Islam atau prinsip nilai Islam yang 'bersinkretisme' dengan budaya nusantara menjadi Islam Indonesia. Ini adalah karakter Islam PMII yang sejalan dengan ajaran aswaja.

Kesimpulaan:
Identitas PMII adalah Keislaman dan Keindonesia (kebangsaan)
Kata Kunci: Pergerakan, Mahasiswa, Islam, dan Indonesia


Oleh : PKC PMII Jawa Timur

Sejarah Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)

 Historisitas PMII




PMII, atau yang disingkat dengan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (Indonesian Moslem Students Movement), dalam bahasa jawanya adalah Anak Cucu organisasi NU yang lahir dari rahim Departemen perguruan Tinggi IPNU.
Lahirnya PMII bukannya berjalan mulus, banyak sekali hambatan dan rintangan. Hasrat mendirikan organisasi NU sudah lama bergolak. namun pihak NU belum memberikan green light. Belum menganggap perlu adanya organisasi tersendiri buat mewadahi anak-anak NU yang belajar di perguruan tinggi. melihat fenomena yang ini, kemauan keras anak-anak muda itu tak pernah kendur, bahkan semakin berkobar-kobar saja dari kampus ke kampus. hal ini bisa dimengerti karena, kondisi sosial politik pada dasawarsa 50-an memang sangat memungkinkan untuk lahirnya organisasi baru. Banyak organisasi Mahasiswa bermunculan dibawah naungan  payung induknya. misalkan saja HMI yang dekat dengan Masyumi, SEMI dengan PSII, KMI dengan PERTI, IMM dengan Muhammadiyah dan Himmah yang bernaung dibawah Al-Washliyah. Wajar saja jika kemudiaan anak-anak NU ingin mendirikan wadah tersendiri dan bernaung dibawah panji bintang sembilan, dan benar keinginan itu kemudian diwujudkan dalam bentuk IMANU (Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama) pada akhir 1955 yang diprakarsai oleh beberapa tokoh pimpinan pusat IPNU.
Namun IMANU tak berumur panjang, dikarenakan PBNU menolak keberadaannya. ini bisa kita pahami kenapa NU bertindak keras. sebab waktu itu, IPNU baru saja lahir pada 24 Februari 1954. Apa jadinya jika organisasi yang baru lahir saja belum terurus sudah menangani yang lain? hal ini logis seakli. Jadi keberatan NU bukan terletak pada prinsip berdirinya IMANU ( PMII ), tetapi lebih pada pertimbangan waktu, pembagian tugas dan efektifitas organisasi.
Oleh karenanya, sampai pada konggres IPNU yang ke-2 (awal 1957 di pekalongan) dan ke-3 (akhir 1958 di Cirebon). NU belum memandang perlu adanya wadah tersendiri bagi anak-anak mahasiswa NU. Namun kecenderungan ini nsudah mulai diantisipasi dalam bentuk kelonggaran menambah Departemen Baru dalam kestrukturan organisasi IPNU, yang kemudian dep[artemen ini dikenal dengan Departemen Perguruan Tinggi IPNU.    
Dan baru setelah konferensi Besar IPNU (14-16 Maret 1960 di kaliurang), disepakati untuk mendirikan wadah tersendiri bagi mahsiswa NU, yang disambut dengan berkumpulnya tokoh-tokoh mahasiswa NU yang tergabung dalam IPNU, dalam sebuah musyawarah selama tiga hari(14-16 April 1960) di Taman Pendidikan Putri Khadijah(Sekarang UNSURI) Surabaya. Dengan semangat membara, mereka membahas nama dan bentuk organisasi yang telah lama mereka idam-idamkan.
Bertepatan dengan itu, Ketua Umum PBNU KH. Idam Kholid  memberikan lampu hijau. Bahkan memberi semangat pada mahasiswa NU agar mampu menjadi kader partai, menjadi mahasiswa yang mempunyai prinsip: Ilmu untuk diamalkan dan bukan ilmu untuk ilmu…maka, lahirlah organisasi Mahasiswa dibawah naungan NU  pada tanggal 17 April 1960. Kemudian organisasi itu diberi nama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia ( PMII ).
Disamping latar belakang lahirnya PMII seperti diatas, sebenarnya pada waktu itu anak-anak NU yang ada di organisasi  lain seperti HMI merasa tidak puas atas pola gerak HMI. Menurut mereka ( Mahasiswa NU ) , bahwa HMI sudah berpihak pada salah satu golongan  yang kemudian ditengarai bahwa HMI adalah anderbownya partai Masyumi, sehinggga wajar kalau mahasiswa NU  di HMI juga mencari alternatif lain. Hal ini juga diungkap oleh Deliar Nur ( 1987 ), beliau mengatakan bahwa PMII merupakan cermin ketidakpuasan sebagian mahasiswa muslim terhadap HMI, yang dianggap bahwa HMI dekat dengan golongan modernis ( Muhammadiyah ) dan dalam urusan politik lebih dekat dengan Masyumi.
        Dari paparan diatas bisa ditarik kesimpulan atau pokok-pokok pikiran dari makna dari kelahiran PMII:
¨       Bahwa PMII karena ketidakmampuan Departemen Perguruan Tinggi IPNU dalam menampung aspirasi anak muda NU yang ada di Perguruan Tinggi .
¨         PMII lahir dari rekayasa politik sekelompok mahasiswa muslim  ( NU ) untuk mengembangkan kelembagaan politik menjadi underbow NU dalam upaya merealisasikan aspirasi politiknya.
¨         PMII lahir dalam rangka mengembangkan paham Ahlussunah Waljama’ah dikalangan mahasiswa.
¨         Bahwa PMII lahir dari ketidakpuasan mahasiswa NU yang saat itu ada di HMI, karena HMI tidak lagi mempresentasikan paham mereka  ( Mahasiswa NU ) dan HMI ditengarai lebih dekat dengan partai MASYUMI.
¨         Bahwa lahirnya PMII merupakan wujud kebebasan berpikir, artinya sebagai mahasiswa harus menyadari sikap menentukan kehendak sendiri atas dasar pilihan sikap dan idealisme yang dianutnya.

Dengan demikian ide dasar pendirian PMII adalah murni dari anak-anak muda NU sendiri Bahwa kemudian harus bernaung dibawah panji NU itu bukan berarti sekedar pertimbangan praktis semata, misalnya karena kondisi pada saat itu yang memang nyaris menciptakan iklim dependensi sebagai suatu kemutlakan. Tetapi, keterikatan PMII kepada NU memang sudah terbentuk dan sengaja dibangun atas dasar kesamaan nilai, kultur, akidah, cita-cita dan bahkan pola berpikir, bertindak dan berperilaku.
Kemudian PMII harus mengakui dengan tetap berpegang teguh pada sikap Dependensi timbul berbagai pertimbangan menguntungkan atau tidak dalam bersikap dan berperilaku untuk sebuah kebebasan menentukan nasib sendiri.
Oleh karena itu haruslah diakui, bahwa peristiwa besar dalam sejarah PMII adalah ketika dipergunakannya istilah Independent dalam deklarasi Murnajati tanggal 14 Juli 1972 di Malang dalam MUBES III PMII, seolah telah terjadi pembelahan diri anak ragil NU dari induknya.
Sejauh pertimbangan-pertimbangan yang terekam dalam dokumen historis, sikap independensi itu tidak lebih dari dari proses pendewasaan. PMII sebagai generasi muda bangsa yang ingin lebih eksis dimata masyarakat bangsanya. Ini terlihat jelas dari tiga butir pertimbangan yang melatar belakangi sikap independensi PMII tersebut.
Pertama, PMII melihat pembangunan dan pembaharuan mutlak memerlukan insan-insan Indonesia yang berbudi luhur, taqwa kepada Allah SWT, berilmu dan cakap serta tanggung jawab, bagi keberhasilan pembangunan yang dapat dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat. Kedua, PMII selaku generasi muda indonesia sadar akan perannya untuk ikut serta bertanggungjawab, bagi keberhasilan pembangunan yang dapat dinikmati secar merata oleh seluruh rakyat. Ketiga, bahwa perjuangan PMII yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan idealisme sesuai deklarasi tawangmangu, menuntut berkembangnya sifat-sifat kreatif, keterbukaan dalam sikap, dan pembinaan rasa tanggungjawab.
Berdasarkan pertimbangan itulah, PMII menyatakan diri sebagai organisasi Independent, tidak terikat baik sikap maupun tindakan kepada siapapun, dan hanya komitmen terhadap perjuangan organisasi dan cita-cita perjuangan nasional yang berlandaskanPancasila.




Oleh : PKC PMII Jawa Timur