Agama, Politik, dan Politik Agama
Khusus Relasi antara agama dan politik itu sangat dinamis, unik, menarik, sekaligus lucu. Keduanya kadang saling berseteru. Tapi pada saat yang bersamaan, mereka bisa berdampingan dengan mesra.
Sejarah mencatat, tokoh, komunitas, dan institusi keagamaan bisa berperan menjadi penjaga moral masyarakat serta pengkritik kekuasaan yang garang. Pula, agama bisa menjadi sumber energi luar biasa untuk melakukan perlawanan terhadap rezim korup dan despotik. Sejarah gerakan Gereja Katolik di Amerika Latin, Black Chruches di Amerika Serikat, Sufi Sanusiyah di Lybia, atau Tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah di Banten, Indonesia, hanyalah sekelumit contoh sejarah dimana agama telah melakukan fungsi kritisnya sebagai mediumkritik sosial sebuah masyarakat sekaligus sarana perubahan politik sebuah tatanan kekuasaan.
Penting untuk dicatat, bukan hanya agama yang melakukan perlawanan terhadap politik. Politik juga sering melawan, mengintimidasi, dan menghancurkan agama. Dengan kata lain, hubungan sekaligus nasib agama dan politik akan ditentukan oleh otoritas mana yang paling kuat dan dominan dari keduanya serta bagaimana watak dan karakter para elit politik dan elit agama yang kebetulan berkuasa. Jika politik menjadi “superordinat”, maka agama akan berpotensi menjadi “subordinat”. Begitu pula sebaliknya.Tetapi di sisi lain, agama juga bisa berfungsisebagai “stempel” atau legitimator politik-kekuasaan sejak zaman bahula hingga dewasa ini. Di sejumlah negara saat ini, agama-politik banyak melakukan “perkawinan” dan menjalin hubungan “simbiosis mutualisme”: politik memberi jaminan proteksi keamanan masyarakat agama, sementara agama memberi “legitimasi teologis” untuk melanggengkan kekuasaan politik.
Dalam konteks ini, secara teori, maka hubungan agama dan politik adalah sejajar (koordinat), bukan saling mendominasi dan menguasai tetapi saling melengkapi dan menguntungkan satu sama lain. Meskipun dalam prakteknya tentu saja tetap terjadi “perselingkuhan” sana-sini dimana agama atau politik mencoba “main mata” dan “berselingkuh” dengan pihak lain diluar “komunitas agama” (misalnya kelompok adat, kaum pebisnis, sekuler-ateis, dlsb) atau bahkan secara diam-diam saling menjegal dan mendelegitimasi otoritas masing-masing.
Diktum-diktum keagamaan (ajaran, diskursus, teks, norma dlsb) memang sangat lentur dan fleksibel sehingga mudah untuk diseret-seret kesana-kemari sesuai dengan kepentingan pemeluknya.
Dalam konteks sejarah Indonesia, terjadi perkembangan dinamis menyangkut relasi agama dan politik ini. Dulu pada masa kolonial, agama berperan ganda: sebagai legitimasi kolonialisme sekaligus kritik sosial. Banyak tokoh agama, Muslim khususnya, yang bekerja dengan pemerintah kolonial. Tetapi pada saat yang bersamaan juga banyak di antara mereka yang menjadi pengkritik dan pemberontak kolonial.
Pada zaman Orde Lama, Presiden Sukarno satu sisi mengakomodasi tokoh-tokoh Muslim (khususnya dari Nahdlatul Ulama) tetapi pada waktu yang bersamaan melibas tokoh-tokoh Muslim lain (khususnya dari Masyumi) yang kontra dengan kekuasaanya.
Pada masa Orde Baru, Presiden Suharto tidak melirik kelompok Islam meskipun padaawalnya mereka digandeng untuk mengantarkan jalan kekuasaan. Pak Harto lebih tertarik menggandeng kelompok abangan-kejawen dan kalangan militer. Baru pada awal 1990-an, ia tertarik “melirik” Islam dengan menggaet kelompok kelas menengah teknokrat di bawah bendera ICMI(Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) setelah terjadi friksi dengan sejumlah petinggi militer. Pak Harto dulu juga tidak memberi ruang gerak secuilpun untuk perkembangan “Islam politik” meskipun mendukung gerakan “Islam kultural” yang apolitis.
Setelah Pak Harto tumbang pada 1998, krankebebasan berekspresi dan berserikat yang dulu ditutup rapat, kini pun dibuka kembali lebar-lebar. Akibatnya, Indonesia seperti kebanjiran kelompok-kelompok Islam ekstrim-konservatif. Mereka yang dulu bersembunyi karena ketakutan dengan politik otoriter-militer Pak Harto, kini bermunculan bak cendawan di musim hujan.
Meski banyak sisi positif-konstruktif di era post-Suharto ini seperti tumbuh-berkembangnya demokrasi dan kebebasan sipil tetapi ada sejumlah sisi negatif-destruktif. Merebaknya para “penumpang gelap” demokrasi seperti kelompok-kelompok Islam garis keras (Muslim hardliners) yang intoleran, anti-pluralisme, kontra-kebangsaan, mau menangnya sendiri, serta menggunakan berbagai tindakan dan cara kekerasan untuk memuluskan agenda dan kepentingan kelompoknya hanyalah sekelumit contoh dari sisi negatif-destruktif tadi.
Kelompok-kelompok ini tidak segan-segan untuk memobilisir massa (dan bahkan Tuhan) dengan menggunakan sentimen-sentimen primordial agama dan etnisitas demi mencapai kepentingan politik-ekonomipragmatis. Inilah yang saya maksud dengan “politik agama”, yakni “pemerkosaan agama” oleh sejumlah kelompok agama demi kepentingan politik praktis sektarian.
Pengerahan massa oleh sejumlah “sindikat Islam” untuk menjegal Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dari bursa kandidat Gubernur Jakarta dengan alasan bahwa ia seorang “Kristen” yang tidak layakmemimpin Jakarta yang mayoritas Muslim adalah contoh kecil dari “politik agama” ini.Jika fenomena “politik agama” sektarian ini tidak “dikelola” dengan baik, arif, dan bijak maka potensi kekerasan komunal-horisontal bisa terjadi, dan spirit demokrasi yang sudah diperjuangkan dengan susah-payah oleh kekuatan rakyat tahun 1998 bisa terkubur di kemudian hari.
Sumber: Deutsche Welle, 23 Maret 2016
0 komentar:
Post a Comment
Silahkan tinggalkan komentar untuk perbaikan kedepannya agar lebih baik