Seputar ideologi PMII
Pada paruh kedua
abad kemarin dan gaungnya hingga hari ini (digarahi oleh kelompok
intelektual 'kiri' Eropa yang mendasari new-left movement yang terkenal
itu, sebut saja; kelompok madhab frankfurt, TW Adorno, Jurgen Habermas bahwa
perdebatan mengenai ideologi masih mempunyai ruang, terlebih ideologi menuai
kritik dan evaluasi terhadapnya. Kritik itu seputar perannya sebagai 'wadah'
atau 'tempat' kebenaraan atau bahkan
sebagai 'sumber' kebenaran itu sendiri, yang disatu sisi dinilai sebagai
pencerah ummat tetapi disisi lain sebagai alat hegemoni ummat.
Ideologi memang
dianggaab sebaagaai laandasan kebenaaran yang paling fundaamental (mendasar)
makanya tidak terlalu salah bila ddisebut sumber kebenaran sebagai ruh dari
operasi praksis kehidupan. Tetapi dalam prosesnya kemudiaan ideologi ada tidak
bebas dari kepentingan --prinsip peng-ada-an; sesuatu materi
diciptakan/diadakan pasti punya maksud dan tujuan--, ironisnya kepentingan yang
pada awalnya untuk kebaikan sesama tanpa ada pengistemewaan/pengklasifikasian
kemudian berubah menjadi milik segolongan tertentu. Hasilnya ideologi menjadi
tameng kebenaraan ummat tertentu, digunakan untuk tujuan-tujuan yang tidak
selayaknya, tujuaan 'hanya kekuasaan' misalnya. Maka dalam konteks ini ideologi
mendapat serangan habis-habisan.
Tanpa bermaksud
memutus perdebatan sosiologi pengetahuan seperti diatas, Ideologi akan tetap
memiliki ummat, ideologi masih memiliki pengikut tatkala ia masih
rasional masih kontekstual tidak pilih kasih (diskriminatif) tidak menindas
sehingga layak dijadikan sumber kebenaran, ketika peran itu masih melekat niscaya
ideologi masih diperlukan.
Dibawa dalam ranah
PMII, ideologi PMII digali dari sumbernya --yang pada pembicaraan
sebelumnya disebut sebagai identitas PMII-- yaitu keislaman dan
keindonesiaan. Sublimasi atau perpaduan antara dua unsur diatas menjadi rumusan
materi yang terkandung dalam Nilai Dasar Pergerakan PMII, ya semacam qonun
azasi di PMII atau itu tadi yang disebut... Ideologi. NDP berisi rumusan
ketauhidan, pengyakinan kita terhadap Tuhan. Bentuk pengyakinan itu terletak
dari pola relasi/hubungan antar komponen di alam ini, pola hubungan antara
mikrokosmos dan makrokosmos, antara Tuhan dan manusia, antar manusia dan antara
manusia dengan sekelilingnya.
Jadi kesimpulaan
yang bisa diambil adalah:
(1) Ideologi
masih relevan dijadikan sebagai rujukan kebenaran
(2) Ideologi
PMII terangkum (terwujud) dalam rumusan Nilai Dasar Pergerakan (NDP) yang
merupakan sublimasi keislaman dan keindonesiaan
ΓΈ Landasan
Teologis dan Filosofis PMII
Landasan filosofis
dan teosofis PMII sebenarnya tergali dalam rumusan NDP dan turunannya kebawah.
Artinya bahwa NDP dibangun atas dasar dua sublimasi besar yaitu ke-Islaman dan
ke-Indonesiaan.
Sublimasi
ke-Islaman berpijak dari kerangka paradikmatik bahwa Islam memiliki kerangka
besar yang universal, transendental, trans-historis dan bahkan trans-personal.
Universalisme atau variasi-variasi identitas Islam lainnya yang dimaksud
bermuara pada satu gagasan besar, bagaimana membangun masyarakat yang berkeadilan.
Namun, harus
disadari bahwa sungguhpun Islam memiliki universalitas atau yang lainnya, ia
juga menampakkan diri sebagai entitas dengan identitas sangat kultural,
antropologis, historis, sosiologis dan bahkan politis.
Dua gambaran tentang
Islam yang paradoks ----atau minimal kontra produktif dan bahkan saling berbinary
opposition--- menghadapkan believer pada tingkat minimal untuk
melakukan human exercise bagaimana Islam dalam identitas yang ganda itu
mampu disandingkan, dan bahkan dileburkan menjadi satu identitas besar, rahmatan
lil alamin.
Dari sini,
mengharuskan PMII untuk mengambil inisiatif dengan menempatkan Islam sebagai
salah satu sublimasi identitas kelembagaan. Ini berarti, PMII menempatkan Islam sebagai landasan teologis
untuk dengan tetap meyakini universalitas, transhistoris dan bahkan
transpersonalnya. Lebih dari itu, Keyakinan teologis tersebut tidak semata-mata
ditempatkan sebagai landasan normatifnya, melainkan disertai upaya bagaimana
Islam teologis itu mampu menunjukkan dirinya dalam dunia riel. Ini berarti,
PMII akan selalu menempatkan Islam sebagai landasan normatif yang akan selalu
hadir dalam setiap gerakan-gerakan sosial dan keagaamaan yang dimilikinya.
Selain itu, PMII
sebagai konstruksi besar juga begitu menyadari bahwa ia tidaklah hadir dalam
ruang hampa, kosong, berada diawang-awang dan jauh dari latar sosial dan bahkan politik. Tetapi, ia justru
hadir dan berdiam diri dalam satu ruang identitas besar, Indonesia dengan
berbagai kemajemukan watak kulturalnya, sosiologis dan hingga antropologisnya.
Oleh karena,
identitas diri yang tak terpisahkan dengan identitas besar Indonesia
mengharuskan PMII untuk selalu menempatkan identitas besar itu menjadi salah
satu sublimasi selain ke-Islaman.
Penempataan itu
berarti menempatkan PMII sebagai institusi besar yang harus selalu melakukan
pembacaan terhadap lingkungan besarnya, "Indonesia". Hal ini dalam
rangka membangun aksi-aksi sosial, kemasyarakatan, dan kebangsaan yang selalu
relevant, realistik, dan transformatik.
Dua penjelasan
kaitannya dengan landasan sublimatif PMII diatas, dapat ditarik kedalam satu
konstruksi besar bahwa PMII dalam setiap bangunan gerakan dan institusionalnya
tetap menghadirkan identitas teologisnya, identitas Islam. Tetapi, lebih dari
itu, landasan teologis Islam justru dihadirkan bukan hanya sebatas dalam bentuk
pengaminan secara verbal dan normatif, melainkan bagaimana landasan teologis
ini menjadi transformable dalam setiap gerakan dan aksi-aksi institusionalnya.
Dengan begitu, mau tidak mau PMII harus mempertimbangkan tempat dimana ia
lahir, berkembang, dan melakukan eksistensi diri, tepatnya ruang
ke-Indonesiaan. Yang berarti, secara kelembagaan PMII harus selalu
mempertimbangkan gambaran utuh konstruksi besar Indonesia dalam membangun
setiap aksi-aksi kelembagaanya.
Endingnya, proses
yang runut transformasi landasan teologis Islam dan konstruksi besar
ke-Indonesia-an sebagai medium pembacaan objektifnya, maka akan muncul citra
diri kader atau citra diri institusi yang ulil albab. Citra diri yang
tidak hanya semata-mata menampilkan diri secara personal sebagai manusia
beriman yang normatif dan verbalis, melainkan juga sebagai believer kreatif dan
membumi-kontekstual. Citra diri personal ini secara langsung akan mengujudkan
PMII secara kelembagaan sebagai entitas besar yang juga ulil albab.
Kesimpulan:
1. Landasan
teologis PMII adalah Islam-Keindonesiaan.
2. Identitas
filosofis PMII adalah citra diri yang dibangun melalui Islam sebagai teologi
transformatif dan Ruang ke-Indonesia-an sebagai media pembacaan objektif.
3. Tranformasi
dua hal, landasan teologis dan identitas filosofis akan berakhir dengan
tampilnya identitas personal dan
kelembagaan yang ulil albab.
Oleh : PKC PMII Jawa Timur
0 komentar:
Post a Comment
Silahkan tinggalkan komentar untuk perbaikan kedepannya agar lebih baik